🍽️ Prasmanan Raker & Piring Absurditas: Sebuah Studi Behavioral Economics yang Tidak Direncanakan
Ada satu momen dalam raker Binus malam ini yang terasa sangat… filosofis. Bukan soal strategi universitas, bukan soal AI Guideline, bukan soal deklarasi Alam Sutera. Tetapi tentang piring makan prasmanan.
Di piring itu, entah bagaimana, tiga hidangan yang seharusnya tidak pernah bertemu dalam konteks kuliner rasional justru tersedia secara gamblang dan kasat mata:
nasi goreng cabe hijau ikan teri,
tekwan berikut kuahnya,
dan lasagna.
Satu piring.
Satu acara resmi.
Satu keputusan absurd.
Dan kita semua makan seperti itu normal.
Fenomena ini seperti naik Commuter Line ketika tiba-tiba ada satu orang bawa durian, satu bawa kasur gulung, dan satu lagi putar TikTok volume maksimal. Kita tidak protes—kita cuma pasrah—karena, ya, mau gimana lagi? Hidup memang kadang absurd.
📝 Disclaimer
Tulisan ini bersifat satiris, reflektif, dan menggunakan analogi berdasarkan pengalaman penulis untuk menyampaikan gagasan. Segala contoh, humor, atau perbandingan dengan Commuter Line, menu prasmanan Raker, maupun kajian literatur akademik bukan representasi resmi institusi mana pun – hanya cermin kecil dari kehidupan sehari-hari yang sering kali terlalu absurd untuk dibiarkan tanpa ditertawakan.
Pendapat yang muncul adalah interpretasi pribadi penulis dan tidak dimaksudkan sebagai nasihat investasi, rekomendasi akademik, apalagi panduan etika profesional.
AI digunakan sebagai alat bantu dalam penyuntingan, namun seluruh arah, nuansa, dan keputusan editorial tetap berada di tangan penulis. Seperti rasa yang campur aduk dari mencampur nasi goreng teri + kuah tekwan + lasagna dalam satu piring yang absurd, dan senyum getir di setiap kunyahan, tetap 100% manusia yang merasakan.
Seperti investor yang boleh memakai robot trading dengan algoritma yang di-coding dengan bantuan AI, tapi tetap harus menanggung kerugian atas volatilitas pasar, penulis memanfaatkan teknologi tanpa lupa bahwa empati, refleksi, dan humor tidak bisa diotomatisasi.
Jika ada kesamaan nama, menu prasmanan, atau perilaku penumpang Commuter Line—itu murni kebetulan dan bukan sindiran langsung.
Harap membaca dengan hati ringan, pikiran terbuka, dan sense of humor yang cukup kuat untuk bertahan sampai stasiun terakhir.
🎭 Keanehan Multiverse di Dalam Piring
Secara gastronomi, mencampur nasi goreng teri + kuah tekwan + lasagna itu seperti:
- Menyuruh italian chef kerja sama dengan ibu-ibu komplek dan abang-abang pedagang pempek Palembang dalam satu proyek trans-culinary-discipline.
- Atau seperti paper multi-disiplin yang memaksa ekonometrika, semiotika, dan filsafat Jawa masuk ke dalam satu paragraf.
Tidak salah, tapi aduh… apa apaan ini?
📉 Bias-Bias yang Menjelaskan Kenapa Kita Melakukannya
Kombinasi ini sebenarnya bukan soal lapar. Ini soal behavioral economics.
✔️ Choice Overload
Terlalu banyak pilihan → otak panik → akhirnya ambil semuanya.
Mirip investor yang beli 12 saham “biar aman,” padahal makin bingung sendiri.
✔️ Loss Aversion (versi prasmanan)
Takut rugi kalau tidak mencoba.
“Kalau lasagna enak dan aku kelewatan, bisa menyesal seumur hidup nanti.”
✔️ Sunk Cost Fallacy
Sudah antre panjang → “ya udah lah ambil aja semua, masa cuma tekwan doang?”
✔️ Compartmentalization yang Gagal
Di kepala kita mungkin begini:
“Nasi goreng bagian karbo.”
“Tekwan bagian soup.”
“Lasagna bagian… well… protein? Mood booster? Healing?”
Padahal semua masuk ke tempat yang sama: piring yang sudah menyerah dari awal.
🚆 Analogi Commuter Line-nya? Sangat Sederhana.
Seperti di Commuter Line:
- orang kantoran pakai jas,
- anak sekolah bawa tugas prakarya,
- ibu-ibu bawa belanjaan,
- bapak-bapak tidur dari Stasiun awal sampai akhir,
- dan semua bercampur di satu gerbong tanpa protes.
Prasmanan ini adalah Commuter Line versi kuliner.
Kita semua masuk ke gerbong (piring) yang sama, meski punya tujuan berbeda.
Dan anehnya:
Kita tetap sampai tujuan, perut kenyang hati senang.
🍝 Lasagna: Simbol Harapan di Tengah Kekacauan
Lasagna di tengah nasi goreng dan tekwan adalah semacam metafora hidup akademik:
- Sibuk rapat, tapi tetap butuh “comfort food.”
- Tuntutan KPI tinggi, tapi tetap butuh “cheesy moment.”
- Penat diskusi, tapi tetap ingin merasa hidup punya lapisan-lapisan yang hangat, bukan cuma pedas dan asin ala nasi goreng cabe hijau ikan teri.
Lasagna adalah oasis keju dalam padang pasir prioritas institusional.
💡 Jadi Apa Refleksinya?
Kadang hidup memang seperti piring prasmanan raker:
Campur aduk.
Tidak matching.
Tidak estetis.
Bertentangan dengan semua buku teori kuliner.
Tapi tetap kita jalani.
Kita makan.
Dan anehnya…
kita kenyang juga.
Kadang kombinasi yang tidak masuk akal justru menjadi bukti bahwa manusia itu makhluk adaptif.
Kita bisa bertahan dalam Commuter Line, dalam ruang rapat, dalam dunia akademik, bahkan dalam piring yang isinya nasi goreng + kuah tekwan + lasagna.
Karena pada akhirnya:
Yang penting bukan piringnya—yang penuh oleh absurditas—tapi yang penting kita tetap melangkah pulang dengan perut hangat dan hati sedikit lebih ringan. Apalagi mereka yang dapat Door Prize utama, hatinya pasti sangat sangat ringan.
🙏 Acknowledgements
Terima kasih Binus University – sukses selalu.
Terima kasih panitia raker—semoga tahun depan masih mau jadi panitia lagi.
Terima kasih para kolega yang sama-sama mencoba inter-culinary-discipline dalam satu piring.
Dan terutama: terima kasih Chef Catering, tanpa Anda tulisan ini tidak akan pernah lahir.
Comments :