Ketika Dosen BINUS Diuji Seperti Investor di Gerbong KRL

Menjadi dosen di era sekarang itu seperti berdiri di gerbong KRL arah Bogor jam 7 pagi:

bukan soal siapa paling cepat sampai, tapi siapa yang paling sabar berdiri — sambil tetap menjaga ekspresi profesional meski kena sikut dari semua arah.

Dan seperti penumpang KRL yang tiba-tiba diajak ikut seminar “cara menyelamatkan diri kalau pintu macet,” dosen BINUS pun kadang diajak ikut pelatihan yang plot twist: dari bikin donat, teori pemadaman kebakaran, sampai etika kecerdasan buatan.

Sekilas acak. Tapi di situlah justru behavioral finance paling terasa.

🍩 Donat dan Ilusi Kontrol

Di pelatihan bikin donat, para dosen tidak benar-benar menguleni adonan — hanya menonton chef mempresentasikan proses pembuatan donat, dari adonan sampai plating.

Dosen matematika sepertinya sibuk menghitung formula menakar tepung dengan presisi statistik, dosen psikologi menganalisis bentuk adonan dan tingkat stres chef yang menguleni, dosen desain sibuk mikir warna glasur yang instagramable dan dosen finance seperti saya sibuk mikirin berapa harga jual yang pas.

Tapi begitu coba sendiri, donat keluar dari oven — semuanya sama: gosong, kalau bukan literal, ya konseptual.

Di sinilah muncul konsep illusion of control — ilusi bahwa kita bisa mengendalikan hasil dari sesuatu yang sebenarnya banyak faktor acaknya.

Investor sering merasa bisa “mengalahkan pasar” karena punya sistem dan data, padahal harga tetap ditentukan oleh hal-hal yang tak bisa diprediksi.

Begitu juga dengan donat: sudah ditakar sempurna, tapi oven punya kehendak bebasnya sendiri.

Ilusi kontrol itu nikmat — seperti aroma donat baru matang — tapi juga berbahaya.

Ia membuat kita lupa bahwa tidak semua yang bisa diukur, bisa dikendalikan.

🔥 Teori Pemadaman Kebakaran dan Bias Overconfidence

Lanjut ke sesi mandiri pelatihan wajib teori pemadaman kebakaran — bukan simulasi, hanya teori dasar tentang sumber api, jenis alat pemadaman, dan prosedur penyelamatan diri.

Materinya sederhana, tapi reaksi peserta kompleks:

ada yang langsung mikir, “Oh, ini bisa juga buat meredam konflik di rapat fakultas.”

Lucunya, sebagian besar dari kita merasa “sudah siap menghadapi api”—baik api lilin, api semangat, maupun api gosip—padahal baru paham di tataran PowerPoint.

Inilah overconfidence bias — kecenderungan manusia menilai kemampuan dirinya lebih tinggi dari kenyataan.

Sama seperti investor yang baru sekali profit besar lalu merasa siap buka kelas trading.

Padahal begitu “kebakaran” beneran — misalnya email dari reviewer jurnal Q1 masuk — kita tetap panik cari selang, alias revisi darurat tengah malam.

Overconfidence adalah bahan bakar halus dari banyak keputusan impulsif — di pasar saham maupun di ruang rapat.

🤖 Etika AI dan Dilema Moral Licensing

Lalu ada lagi sesi paling futuristik: Ethics of Artificial Intelligence.

Topiknya berat, tapi pesertanya sibuk buka ChatGPT buat ngerangkum isi pelatihan.

Ironi yang manis — seperti makan donat di depan poster bertuliskan “Jaga Kalori Anda.”

Fenomena ini menggambarkan moral licensing, yaitu perasaan “berhak berbuat sedikit salah” setelah sebelumnya melakukan hal baik.

Karena merasa sudah “belajar etika,” kita merasa boleh sedikit menyontek demi efisiensi.

Persis seperti investor yang berkata, “Aku kan udah punya portofolio ESG, boleh dong spekulasi dikit di crypto.”

Belajar etika AI bukan cuma soal algoritma moral, tapi tentang discipline fatigue — kelelahan menjaga sikap etis di tengah dunia serba otomatis.

Disiplin moral, seperti disiplin keuangan, itu butuh energi.

Dan manusia, sebaik apa pun niatnya, tetap makhluk dengan baterai moral terbatas.

đź’Ľ Behavioral Lesson: Kampus sebagai Simulasi Pasar

Kalau dipikir-pikir, pelatihan-pelatihan lintas tema ini bukan soal donat, api, atau AI.

Tapi tentang simulasi risiko versi kampus:

bagaimana kita bereaksi di luar zona nyaman,

bagaimana kita menilai risiko dengan informasi terbatas,

dan bagaimana kita tetap tertawa meski teori dan realita jaraknya setebal proposal hibah.

 

Dalam bahasa behavioral finance, ini melatih kesadaran akan loss aversion — kecenderungan manusia lebih takut rugi daripada senang mendapat untung.

Dosen dan investor sama-sama sering “main aman,” takut gagal, takut dikritik, takut eksperimen.

Padahal, kehilangan sedikit kenyamanan sering kali adalah harga untuk naik satu level dalam kompetensi.

Pada akhirnya, jadi dosen itu seperti jadi investor jangka panjang:

yang ditanam bukan hanya ilmu, tapi kesabaran.

Yang diuji bukan hanya kemampuan analisis, tapi kestabilan emosi.

Dan return-nya kadang bukan dalam bentuk uang, tapi dalam bentuk senyuman saat melihat mahasiswa saling berdebat positif — atau minimal, tidak tertidur di kelas.

🚉 Refleksi KRL

Mungkin pelatihan-pelatihan itu aneh kalau dilihat terpisah.

Tapi kalau dirangkai, mereka seperti perjalanan panjang di KRL:

ada stasiun donat (melatih rasa sabar),

stasiun pemadam (melatih kesadaran risiko),

dan stasiun AI (melatih kesadaran moral di era digital).

Kita, para dosen, cuma perlu naik — kadang berdesakan dengan ego dan ekspektasi — tapi tetap bergerak menuju tujuan yang sama:

menjadi manusia yang adaptif, rasional, dan tetap punya selera humor di tengah ketidakpastian.

Karena pelatihan BINUS itu seperti KRL lintas jalur:

kadang kita nggak tahu akan berhenti di mana,

tapi setiap pemberhentian selalu mengajarkan satu hal —

bahwa ketidakpastian pun bisa dilatih,

asal jangan lupa tertawa di antara stasiun.

đź’¬ Catatan di antara stasiun:
Catatan ini disusun dengan bantuan AI dalam tahap ide dan penyuntingan, tapi rasa lelah, ironi, dan tawa getir di setiap paragraf tetap 100% manusia.
Seperti investor yang boleh pakai algoritma tapi tetap harus menanggung volatilitas pasar, penulis juga memanfaatkan teknologi — tanpa lupa bahwa empati, refleksi, dan humor tidak bisa diotomatisasi.
AI mungkin membantu merapikan kalimat, tapi yang belajar bertahan di antara dorongan ego, ekspektasi, dan jadwal kehidupan yang delay, tetap manusianya.